Tak sedetikpun Gayuh mampu melupakan Seto yang telah
menghianatinya. Gayuh sangat mendendam. Ia kini sungguh membenci laki-laki itu.
Pria dengan tubuh sedikit kekar, kulit kuning langsat, serta kumis tipis dibawah
hidung mancungnya, membuat Seto yang hanya seonggok daging berbalut seragam
loreng begitu dikagumi oleh semua orang serta menjadi idaman semua wanita.
Suara wibawanya begitu bergerincing berduet gema dihati orang yang didekatnya.
Pernah satu bangku ketika SMA, Gayuh sudah lama menyimpan rapi hasrat untuk
memiliki pria idamannya tersebut. Gayuh memang mengagumi sosok Seto, namun
impiannya untuk memiliki lelaki tersebut seakan terdengar seperti doa
keputusasaan. Bagaimana tidak, belum pernah Gayuh menatap matanya dan bertahan
disitu untuk waktu yang lama, dikarenakan keberadaan Seto menciptakan fluks
magnetic bagi para wanita.
Diambilah jalan pintas, seketika setelah bersambang
kerumah yang konon katanya orang pintar, hati Gayuh sedikit merasa tentram dan
sedikit termotivasi untuk mendapatkan jiwa raga Seto. Sesampainya dirumah,
dibacalah beberapa mantera dengan sedikit tambahan asap wangi dan hiruk riuk
garam yang dicampur arang. Setelah beberapa saat, terdengar vibrasi diikuti
sayuk lagu asmiranda. Ternyata Seto yang menelpon. Diangkatlah. “Hallo Seto?
ada apa?” dijawablah sama Seto, “Gayuh! Asal kamu tahu. Aku dulu memang homo,
tapi sekarang aku udah insyaf. Jadi jangan guna-guna aku.” Mendengar hal itu,
pria dengan perut buncit dan rambut ikal tersebut langsung mendadak lemas. Aterosklerosis
yang sudah lama dideritanya kini kambuh diikuti perasaan kecewa pupus memalukan
dan dendam yang mendidih merah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar