Hari
ini langit terlihat cerah seperti biasanya, angin hangat membuat liburan kami
terasa sempurna dengan aroma mesin pemotong rumput yang khas dan suara
orang-orang yang sedang sibuk dengan kebun masing-masing. Pagi itu aku beserta
istri dan kedua putri kecilku sedang berlibur sebuah tempat dimana orang-orang
sering membicarakannya. Pantai dengan pasir putih bersih dan ombak biru serta
pohon-pohon kelapa yang membuat panas menjadi rindang, disitulah kami baru saja
tiba. Setelah kami menurunkan perbekalan, aku menyiapkan tempat kecil di bawah
pohon kelapa untuk tempat makan serta minum. Kulihat kedua bidadari kecilku
sedang berlarian di pantai, bermain ombak, berenang, didampingi ibu mereka.
Aku
mengikuti seleksi AAL dan dinyatakan lulus berkat impian dan usahaku untuk
menjadi seorang patriot, setelah beberapa tahun berlayar keliling dunia dan
menjalani pendidikan militer, aku berniat bergabung dengan sekolah penembak
jitu. Negara menghabiskan banyak dana demi melatih serta mengajariku cara
bertahan hidup dalam keadaan sesulit apapun. Oleh karena itu, setelah
dinyatakan lulus, atasan menempatkanku dalam pasukan intai amfibi, salah satu
pasukan khusus AL. Aku sering ditugaskan dalam misi pembebasan sandera di laut
lepas, mengintai pergerakan musuh di perbatasan wilayah laut, serta misi
penyergapan terhadap markas musuh yang berusaha meneror wilayah laut kami.
Menjadi seseorang yang penting dalam sebuah kesatuan membuatku jarang berada di
rumah. Sesekali jika mendapat cuti entah walau hanya dua hari, hal tersebut
kugunakan untuk berkumpul bersama keluarga.
Sedikit
melamun, aku dikagetkan oleh istri dan kedua putriku. Waktu sudah siang dan ini
saatnya untuk makan serta berteduh dari hangatnya matahari. Angin sepoi-sepoi
dari lautan lepas dan nyanyian ombak yang khas menghiasi makan siang kami,
dengan penuh senyum canda tawa kami habiskan waktu itu untuk bersenang-senang.
“Pa, hpmu bunyi. Ada yang menelpon” istriku menaruh makanannya dan mengambilkan
hpku. Kulihat ternyata dari markas. “Selamat siang, Sersan Agung siap melapor!”.
setelah beberapa percakapan berlangsung, “Siap laksanakan ndan! Segera
meluncur.” Dengan mengucap kata maaf kepada istri dan kedua anakku, aku
mengajak mereka segera pulang. Entah misi apa lagi yang akan diberikan
kepadaku, aku tak sempat bertanya karena atasan memerintahkanku untuk segera
menuju markas. Sejenak kebahagiaan hilang terlintas pada siang hari itu.
Sesampainya dirumah aku segera mandi dan berbegas menuju markas.
Staff
memberiku sebuah peta yang menunjuk pada sebuah wilayah hutan lebat di
perbatasan negara. Pihak intel menginformasikan bahwa ada banyak pergerakan
lawan melewati garis batas wilayah negara. Jadi misi kali ini adalah
mengamankan wilayah perbatasan yang diduga telah diterobos masuk oleh pihak
musuh. Sebelum terjun ke lokasi, kami diberi pengarahan tentang strategi serta
menyiapkan perbekalan untuk kedepannya. Setelah beberapa saat, tibalah
helikopter yang siap mengantar kami menuju ke lokasi. Lima pasukan intai amfibi
ditambah satu operator komunikasi dan satu penembak jitu yaitu aku,
berangkatlah kami dengan penuh semangat membela tanah air.
Sesampainya
di lokasi, kami langsung membuat perimeter aman untuk mempersiapkan penyergapan.
Setelah membaca peta dan arah mata angin, kami membuat beberapa jebakan di
lokasi-lokasi tertentu dengan menambah beberapa ranjau. Hal ini ditujukan untuk
memancing musuh. Ketika musuh bergerak maju, mereka akan langsung masuk ke lubang
penyergapan. Saat semua sudah dipersiapkan dengan matang, kami memulai
penyergapan. Berjalan sekitar dua kilometer, lokasi lawan telah ditemukan.
Dengan penuh kehati-hatian kami mengawasi, menggunakan bahasa isyarat aku
menuju ke belakang batu yang penuh semak belukar. Disitu aku mempersiapkan senapanku.
Dua pasukan bergerak ke sayap kanan, dua lainnya ke sayap kiri, lalu dua
sisanya menekan ke tengah. Tugasku disini memberi dukungan ketika ada pihak
musuh yang tidak diketahui bergerak secara tiba-tiba. Jantung semakin berdebar
kencang, keringat serasa mengalir deras. Kicauan khas burung kecil menandai
serangan kami secara seporagis nan terarah. Musuh yang tidak mengetahui
kedatangan kami langsung berhamburan mencari tempat berlindung. Bagiku, tak ada
tempat yang luput dari pengawasan teropong laras panjang ini. Kami mulai
menghabisi mereka satu per satu. Satu hal yang tidak kami ketahui adalah mereka
ternyata memiliki beberapa senapan serbu yang sudah diletakkan di tempat yang
tak diketahui. Kami dibalas dengan dihujani peluru. Demi menghindari amukan
timah panas, kami dipukul mundur menuju rawa-rawa. Melenceng jauh dari rencana
awal kami. Bertahan dengan serbuan musuh yang tak ada habisnya. “minta bantuan
udara, kirim F-16!” Aku memerintahkan operator komunikasi untuk menghubungi
markas meminta bantuan. “turtle fighter menghubungi markas, kami dihabisi.
Segera kirim burung besi. Ulangi kami dihabisi, segera kirim burung besi!”
selangkah demi selangkah kami mundur menghindari serangan musuh. Lalu, rencana
apa yang akan kami jalankan. Suasana ricuh rentetan senjata membuat pikiran
semakin tertekan dan sulit untuk mengatur ulang strategi. “RPG!” teriak salah
satu temanku. Lalu tiba-tiba “DUUUAAAARRRRR..” ledakan roket yang menghantam
kami.
Suara
sunyi mengalahkan teriak para teman-temanku. Sesaat setelah para jones
mengepung dan menembaki kami, aku mendapati tiga pasukan terbaikku tewas
seketika. Berperang melawan penembak runduk serta pasukan yang terlatih memang
tidaklah mudah. Ini seperti misi bunuh diri. Yang menjadi petanyaanku pada saat
itu adalah, kenapa pimpinan tidak segera mengirim tim evakuasi serta pasukan
pendukung. Dengan berlari melintasi rawa berair dan rumput alang-alang setinggi
orang dewasa, kami semakin terpojok dengan sisa amunisi yang sangat minim.
Kulihat sebatang kayu tumbang yang cukup besar untuk kami berlindung sementara.
Kini hanya tinggal kami berdua. Kulihat temanku terus menembak dengan menekan
perut yang terus mengucurkan darah. “Sersan, magasinku habis” terdengar lirih
bersamaan dengungan di dalam kepala. “Granat!” temanku mengorbankan diri dengan
menindih granat tersebut. Tak bisa kubayangkan pulang hanya tinggal nama,
sedangkan kesempatan untuk mundur adalah mustahil. Kulihat potongan tubuh
temanku berserakan di seragamku. “Apa yang kupikirkan?” Di dalam pistol tersisa
satu amunisi. “Akankah kematian menjadi sahabat terbaikku saat ini?”
Pandanganku
mulai kabur, semua terlihat putih. Rasanya aku berhalusinasi memikirkan
keluarga dirumah. Sesekali terlintas
kedua putri kecilku berlari dengan senyum. Terlihat sekilas wajah cantik
istriku. “Apakah aku sudah berada di surga? Inikah kedamaian yang aku impikan
setelah sekian lama?” tak lama kemudian terdengar suara samar-samar “Sersan
Agung! Apa kau mendengarku? Bangunlah! Mari kita keluar dari sini. Sersan
Agung! Sersan Agung!” aku membuka perlahan mataku, tubuh ini seakan mati
rasa. “Sersan Agung! Apa kau
mendengarku? Sersan Agung!” saat aku berhasil membuka kedua mataku, ada seorang
wanita didepanku. Tak terlihat jelas. “Bangun Agung!” dengan perasaan kaget aku
melihat istriku berteriak “Agung! Sudah berapa kali kau ku panggil? Anakmu
sudah pulang mengaji! Cepat kau jemput sana!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar