Batman Begins - Help Select

Senin, 23 November 2015

Intai Amfibi



Hari ini langit terlihat cerah seperti biasanya, angin hangat membuat liburan kami terasa sempurna dengan aroma mesin pemotong rumput yang khas dan suara orang-orang yang sedang sibuk dengan kebun masing-masing. Pagi itu aku beserta istri dan kedua putri kecilku sedang berlibur sebuah tempat dimana orang-orang sering membicarakannya. Pantai dengan pasir putih bersih dan ombak biru serta pohon-pohon kelapa yang membuat panas menjadi rindang, disitulah kami baru saja tiba. Setelah kami menurunkan perbekalan, aku menyiapkan tempat kecil di bawah pohon kelapa untuk tempat makan serta minum. Kulihat kedua bidadari kecilku sedang berlarian di pantai, bermain ombak, berenang, didampingi ibu mereka.
Aku mengikuti seleksi AAL dan dinyatakan lulus berkat impian dan usahaku untuk menjadi seorang patriot, setelah beberapa tahun berlayar keliling dunia dan menjalani pendidikan militer, aku berniat bergabung dengan sekolah penembak jitu. Negara menghabiskan banyak dana demi melatih serta mengajariku cara bertahan hidup dalam keadaan sesulit apapun. Oleh karena itu, setelah dinyatakan lulus, atasan menempatkanku dalam pasukan intai amfibi, salah satu pasukan khusus AL. Aku sering ditugaskan dalam misi pembebasan sandera di laut lepas, mengintai pergerakan musuh di perbatasan wilayah laut, serta misi penyergapan terhadap markas musuh yang berusaha meneror wilayah laut kami. Menjadi seseorang yang penting dalam sebuah kesatuan membuatku jarang berada di rumah. Sesekali jika mendapat cuti entah walau hanya dua hari, hal tersebut kugunakan untuk berkumpul bersama keluarga.
Sedikit melamun, aku dikagetkan oleh istri dan kedua putriku. Waktu sudah siang dan ini saatnya untuk makan serta berteduh dari hangatnya matahari. Angin sepoi-sepoi dari lautan lepas dan nyanyian ombak yang khas menghiasi makan siang kami, dengan penuh senyum canda tawa kami habiskan waktu itu untuk bersenang-senang. “Pa, hpmu bunyi. Ada yang menelpon” istriku menaruh makanannya dan mengambilkan hpku. Kulihat ternyata dari markas. “Selamat siang, Sersan Agung siap melapor!”. setelah beberapa percakapan berlangsung, “Siap laksanakan ndan! Segera meluncur.” Dengan mengucap kata maaf kepada istri dan kedua anakku, aku mengajak mereka segera pulang. Entah misi apa lagi yang akan diberikan kepadaku, aku tak sempat bertanya karena atasan memerintahkanku untuk segera menuju markas. Sejenak kebahagiaan hilang terlintas pada siang hari itu. Sesampainya dirumah aku segera mandi dan berbegas menuju markas.
Staff memberiku sebuah peta yang menunjuk pada sebuah wilayah hutan lebat di perbatasan negara. Pihak intel menginformasikan bahwa ada banyak pergerakan lawan melewati garis batas wilayah negara. Jadi misi kali ini adalah mengamankan wilayah perbatasan yang diduga telah diterobos masuk oleh pihak musuh. Sebelum terjun ke lokasi, kami diberi pengarahan tentang strategi serta menyiapkan perbekalan untuk kedepannya. Setelah beberapa saat, tibalah helikopter yang siap mengantar kami menuju ke lokasi. Lima pasukan intai amfibi ditambah satu operator komunikasi dan satu penembak jitu yaitu aku, berangkatlah kami dengan penuh semangat membela tanah air.
Sesampainya di lokasi, kami langsung membuat perimeter aman untuk mempersiapkan penyergapan. Setelah membaca peta dan arah mata angin, kami membuat beberapa jebakan di lokasi-lokasi tertentu dengan menambah beberapa ranjau. Hal ini ditujukan untuk memancing musuh. Ketika musuh bergerak maju, mereka akan langsung masuk ke lubang penyergapan. Saat semua sudah dipersiapkan dengan matang, kami memulai penyergapan. Berjalan sekitar dua kilometer, lokasi lawan telah ditemukan. Dengan penuh kehati-hatian kami mengawasi, menggunakan bahasa isyarat aku menuju ke belakang batu yang penuh semak belukar. Disitu aku mempersiapkan senapanku. Dua pasukan bergerak ke sayap kanan, dua lainnya ke sayap kiri, lalu dua sisanya menekan ke tengah. Tugasku disini memberi dukungan ketika ada pihak musuh yang tidak diketahui bergerak secara tiba-tiba. Jantung semakin berdebar kencang, keringat serasa mengalir deras. Kicauan khas burung kecil menandai serangan kami secara seporagis nan terarah. Musuh yang tidak mengetahui kedatangan kami langsung berhamburan mencari tempat berlindung. Bagiku, tak ada tempat yang luput dari pengawasan teropong laras panjang ini. Kami mulai menghabisi mereka satu per satu. Satu hal yang tidak kami ketahui adalah mereka ternyata memiliki beberapa senapan serbu yang sudah diletakkan di tempat yang tak diketahui. Kami dibalas dengan dihujani peluru. Demi menghindari amukan timah panas, kami dipukul mundur menuju rawa-rawa. Melenceng jauh dari rencana awal kami. Bertahan dengan serbuan musuh yang tak ada habisnya. “minta bantuan udara, kirim F-16!” Aku memerintahkan operator komunikasi untuk menghubungi markas meminta bantuan. “turtle fighter menghubungi markas, kami dihabisi. Segera kirim burung besi. Ulangi kami dihabisi, segera kirim burung besi!” selangkah demi selangkah kami mundur menghindari serangan musuh. Lalu, rencana apa yang akan kami jalankan. Suasana ricuh rentetan senjata membuat pikiran semakin tertekan dan sulit untuk mengatur ulang strategi. “RPG!” teriak salah satu temanku. Lalu tiba-tiba “DUUUAAAARRRRR..” ledakan roket yang menghantam kami.
Suara sunyi mengalahkan teriak para teman-temanku. Sesaat setelah para jones mengepung dan menembaki kami, aku mendapati tiga pasukan terbaikku tewas seketika. Berperang melawan penembak runduk serta pasukan yang terlatih memang tidaklah mudah. Ini seperti misi bunuh diri. Yang menjadi petanyaanku pada saat itu adalah, kenapa pimpinan tidak segera mengirim tim evakuasi serta pasukan pendukung. Dengan berlari melintasi rawa berair dan rumput alang-alang setinggi orang dewasa, kami semakin terpojok dengan sisa amunisi yang sangat minim. Kulihat sebatang kayu tumbang yang cukup besar untuk kami berlindung sementara. Kini hanya tinggal kami berdua. Kulihat temanku terus menembak dengan menekan perut yang terus mengucurkan darah. “Sersan, magasinku habis” terdengar lirih bersamaan dengungan di dalam kepala. “Granat!” temanku mengorbankan diri dengan menindih granat tersebut. Tak bisa kubayangkan pulang hanya tinggal nama, sedangkan kesempatan untuk mundur adalah mustahil. Kulihat potongan tubuh temanku berserakan di seragamku. “Apa yang kupikirkan?” Di dalam pistol tersisa satu amunisi. “Akankah kematian menjadi sahabat terbaikku saat ini?”
Pandanganku mulai kabur, semua terlihat putih. Rasanya aku berhalusinasi memikirkan keluarga dirumah.  Sesekali terlintas kedua putri kecilku berlari dengan senyum. Terlihat sekilas wajah cantik istriku. “Apakah aku sudah berada di surga? Inikah kedamaian yang aku impikan setelah sekian lama?” tak lama kemudian terdengar suara samar-samar “Sersan Agung! Apa kau mendengarku? Bangunlah! Mari kita keluar dari sini. Sersan Agung! Sersan Agung!” aku membuka perlahan mataku, tubuh ini seakan mati rasa.  “Sersan Agung! Apa kau mendengarku? Sersan Agung!” saat aku berhasil membuka kedua mataku, ada seorang wanita didepanku. Tak terlihat jelas. “Bangun Agung!” dengan perasaan kaget aku melihat istriku berteriak “Agung! Sudah berapa kali kau ku panggil? Anakmu sudah pulang mengaji! Cepat kau jemput sana!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar