02, November 2012
Dear diary,
Tak satupun tindakanmu yang ku lupa pada malam itu. Pagi
kau begitu baik, sampai aku tahu kalau minuman itu ternyata kau campuri obat
tidur. Terngiang perputaran atap kamar, lama untuk kusadari bahwa tubuhku
terlentang telanjang di atas ranjangmu. Kau menodaiku beberapa kali hingga ku
rasakan sakit dibagian kewanitaan ini. Entah apa yang kau pikirkan, beraninya
kau meniduri putri tunggal kesayangan dari sahabat arisan ibumu itu. Sesaat
setelah kau puas dengan nafsu bejatmu dan kita berdua sudah mulai lemas tak
berdaya, hanya air mata yang bisa aku ungkapkan untuk mengakui betapa kotor dan
hinanya diriku pada saat itu. Trauma ini tak akan pernah hilang dari pikiranku.
Tubuh indahku kini hanya seonggok daging yang pernah diludahi anjing hutan.
Tak sengaja aku membuka
diary yang sepertinya sengaja diletakkan di atas meja ruang tamu. Dengan
membuka secara acak halaman demi halaman, ku tahu jika cerita pada lembar
tengah ini seakan menarik untuk ku baca. Ketika Tantri sedang membuatkanku
secangkir teh hangat, aku mempercepat bacaanku.
Tahun 2013 lalu, aku menjadi
mahasiswa baru di kota besar ternama. Postur tubuhku padat dan agak tinggi.
Rambut pendek ikal dan hidung mancung, membuatku percaya diri ketika memulai
hidup di kota orang. Mungkin karena sifatku yang ramah terhadap setiap orang
yang kujumpai, aku selalu mendapat banyak teman baru, Tantri salah satunya.
Mahasiswi cantik, putih, berpostur tinggi dengan rambut lurus panjang agak
kemerahan serta menjadi idaman bagi para mahasiswa baru lainnya dan para
senior.
“Joko, silahkan diminum!” Serontak
aku dikagetkan dengan keberadaan Tantri yang tiba-tiba sudah berada didepanku.
Apa yang harus kukatakan dengan buku diarynya yang berada ditanganku. “Iya
terima kasih tan. Ehh, maaf aku gak sengaja buka diarymu. Abisnya kamu sih,
masak buku ginian ditaruh diruang tamu.”
Hanya senyum malu yang ada dimuka
Tantri. “Ohh, gak apa-apa, baca aja. Itung-itung daripada kamu bengong
sendirian.” Ucap Tantri.
“Kamu sendirian di rumah tan? Mana
ayah sama ibumu?”
“Mereka jarang berada di rumah, ada
di luar kota.” Ujar Tantri.
Beberapa saat setelah kuminum teh
hangat buatan Tantri, ada yang aneh pada tubuhku. Seperti pusing dan mengantuk.
Tak lama kemudian Tantri masuk kekamar, dan mengganti pakaiannya. Anehnya,
kenapa pintu kamar Tantri tak ditutup. Jadi dari awal dia menanggalkan satu per
satu pakaiannya, aku dapat melihat dengan jelas tubuh mulusnya itu. Mungkinkah dia sengaja melakukannya? Ahh
pikirku, kenapa aku terangsang hanya dengan gambaran seperti itu. Akankah dia
menambahkan obat perangsang pada minuman tadi? Tak lama kemudian dia
menghampiriku. Dia hanya mengenakan pakaian tipis halus dan seperti transparan.
Perlahan dia mulai menggodaku. Aku hanyut dalam rayuannya yang membingungkan
ini. Ada apa dengan Tantri? Kenapa dia
melakukan hal tersebut? Akankah aku hanya bermimpi?
“Tantri, apa yang sedang kamu
lakukan? Bukankah kita akan ke kampus hari ini? Kenapa kamu memakai pakaian
seperti ini?”
“Tenang aja Joko, kamu ngantuk kan?
Dirumah gak ada siapa-siapa kok. Kita santai-santai dulu.”
Kulihat bentuk dada menonjol dan
padat tersebut. Pikiranku mulai tak karuan. Aku tak bisa menahan rasa ini, justru
semakin kuat hasratku ingin bercumbu dengan Tantri. Tak usah berlama-lama
diruang tamu, dia langsung ku gendong menuju kamar tidur. Tantri yang berwajah
cantik mirip cina memang masih muda, namun dia sudah berpengalaman kurasa.
Mulai kulumat bibir kecil tipisnya itu dan kurangkul pundaknya. Tantri pun
membalas dengan menghembuskan nafas yang semakin membuatku terangsang.
Tangannya mulai bergerak nakal menjelajah bagian kemaluanku. Terasa hangat
sentuhan Tantri seakan membuat mataku tak bisa terbuka dan hanya nafas
tersengal-sengal yang terdengar menghiasi ruangan cinta siang itu.
“Ayo Jok, aku udah gak tahan nih.
Agak cepetan dong!”
“Pelan-pelan tan, sakit nih anuku
kamu remas terus” kataku sambil mencopot pakaian milik Tantri. Dia lalu
berbaring disebelahku sambil mengocok kemaluanku yang sudah mengeras tegang.
Dia mengulum dengan lidah dan mulut manisnya. Terasa geli namun enak sekali.
Jilatan Tantri semakin keras, terasa semakin nikmat dengan kupegang kedua buah
dadanya yang besar dan kenyal itu. “Ahh,
terus tan.. enak banget. Ahh terus..”
Tak kusadari tiba-tiba ibu Tantri
sudah berdiri di depan kamar serta memergokiku. Pikiranku sudah tak karuan
karena omelan ibu Tantri serta teriakannya yang semakin membuatku takut. Tantri
memakai pakaiannya dan menghampiri ibunya. Betapa kagetnya diriku, ternyata
mereka berdua sudah bersekongkol untuk menjebakku. Baru kusadari bahwa ternyata
aku hanya dimanfaatkan oleh mereka. Mau tak mau, aku terpaksa akan dinikahkan
dengan Tantri, walau berat hati tapi apa kata sudah. Memang aku masih menjabat
sebagai mahasiswa baru tahun ini, namun aku sudah memiliki bisnis sendiri yang
bisa dikatakan sudah bisa mencukupi kebutuhan finansial bagi sebuah kehidupan berkeluarga.
Betapa bodohnya diri ini sampai tak menyadari bahwa aku hanya dimanfaatkan
sebagai seorang suami karena tragedi pemerkosaan yang terjadi dalam diary tadi.
Beberapa bulan aku hidup dirumah
Tantri yang sudah menjadi istriku, rasanya aku ingin membeli rumah dan hidup
sendiri, karena Tantri adalah sosok yang cerewet dan suka meminta untuk
dibelikan hal-hal aneh yang menurutku kurang berguna. Tentunya hal tersebut
sangat menguras dompetku. Selain itu, beban pikiran yang harus kutanggung
sendirian membuat konsentrasi pada studiku terganggu. Tugas sering terlambat,
penempuhan kredit mata kuliah menjadi tidak maksimal, nilai kurang memuaskan,
dan pastinya hal ini berimbas pada lamanya studi yang aku tempuh. Sempat
berpikir bahwa aku akan menceraikan Tantri, namun beberapa kali aku
mengurungkan niatku karena perceraian bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Di lain sisi, Tantri sudah mulai mengandung. Semakin berat beban pikiran ini. Aku
harus tetap menjaga perasaan dan pikiran Tantri agar dia tidak stress dan tidak
ikut merasakan beban seperti yang aku tanggung ini.
Pernah beberapa kali kami bertengkar
hanya karena hal sepele. Mungkin ini bisa terjadi karena kami masih terlalu
muda untuk urusan rumah tangga serta beban pikiran yang sudah terlalu menumpuk,
lalu ada hal-hal kecil yang menganggu sehingga membuat hati menjadi mendadak
emosi diiringi rasa marah yang berkelanjutan. Walaupun sering terjadi
pertengkaran antara aku dan Tantri, namun aku tidak pernah sekali-kali bermain
tangan alias menampar atau menyakitinya dalam bentuk fisik.
Sampai pada suatu saat menjelang
UAS, aku mendapat kenalan kakak senior. Dia begitu cantik, baik, ramah
kepadaku, dan bisa aku ajak curhat melimpahkan semua masalah yang aku alami.
Untungnya dia tidak pernah malu dan menghindar untuk berteman denganku. Hal ini
memotivasi hari-hariku di kampus. Diona, itu adalah nama kakak senior yang
kukenal cukup dekat akhir-akhir ini. Tingginya sama denganku, kulitnya putih
dengan rambut bergelombang. Kami sering belajar bersama, kebetulan satu bidang
konsentrasi. Tentunya dia sangat pintar dan berpengalaman dalam ilmu yang kita
tempuh. Semakin lama aku bersama Diona, rasanya aku sudah mulai melupakan
Tantri dan ingin sekali melepas belenggu kehidupanku. Anak muda mana sih yang
mau terkekang oleh sebuah rumah tangga yang bisa dikatakan tidak harmonis
seperti rumah tanggaku saat ini.
Aku mulai memperlihatkan
ketertarikanku terhadap Diona. Dia sebenarnya sudah tahu jika aku sudah
berkeluarga, namun dia begitu memahamiku. “Jika bebanmu terlalu berat, aku siap
membantumu kapan aja Joko.” Nada lembutnya memanjakan hari-hariku.
Setiap Tantri mendengarkan ceritaku
tentang Diona, dia selalu marah-marah gak jelas, padahal sudah aku jelaskan
bahwa hubunganku dengan Diona hanya sebatas teman belajar saja. Hal ini membuat
teman-teman dekatku merasa risih dengan apa yang setiap hari aku lakukan
bersama Diona, mulai belajar, makan siang, dan ngobrol bersama. Mereka merasa
risih karena statusku yang menjadi suami Tantri, tapi aku malah sering
bercerita tentang Diona. Semua teman dekatku mulai menyelidiki siapa Diona
sebenarnya dan mengapa dia begitu mudahnya membuatku terpikat olehnya.
Tantri bersama teman dekatku mulai
heran, karena tidak ada satupun dari kakak senior yang mengenal bahkan
mengetahui jika ada nama Diona pada angkatan mereka. Penyelidikan ini mulai
terungkap ketika Tantri dan para teman dekatku menanyakan tentang Diona kepada
salah satu pengajar di kampus. Mereka kaget, karena Diona menurut salah satu
pengajar tersebut, adalah mantan mahasiswi angakatan lama. “Sekitar 9 tahun
yang lalu, ada mahasiswi yang kuliah disini. Dia bernama Diona, ciri-cirinya
sama persis dengan apa yang kalian ceritakan. Tapi setelah beberapa semester,
kami tidak mengetahui keberadaannya. Bahkan orang tuanya sempat lapor ke
kepolisian, namun Diona masih tetap tidak bisa ditemukan. Saya sendiri merasa
heran jika sekarang ada mahasiswi bernama Diona yang kuliah disini tanpa
sepengetahuan kami. Mungkin kalian salah orang.” Tutur salah satu dosen.
Setelah perbincangan berlanjut,
Tantri langsung pulang kerumah. Aku yang sudah berada di kamar mandi dan
terlanjur telanjang, tiba-tiba Tantri mengetok pintu dan memaksa untuk masuk. “Mas,
buka mas. Aku mau masuk.”
“Iya bentar, tunggu aku selesai
mandi. Kamu mau mandi juga apa?” tanyaku.
“Nggak, aku mau masuk aja. Cepet
mas!” desak Tantri.
Setelah kubukakan pintu dan dia
masuk, aku diberi pertanyaan yang kurasa konyol untuk didengar.
“Mas, temanmu Diona yang selalu
bersamamu itu, apakah dia mahasiswi satu fakultas dengan kita?”
“Sayang, aku lagi mandi. Kenapa
tiba-tiba tanya gitu? Aneh kamu.” Kujawab dengan senyum.
“Ayolah mas serius. Aku pengen tahu.
Tadi dikampus aku menanyakan Diona pada dosen. Tapi beliaunya gak tahu kalau
ada mahasiswi bernama Diona.”
“iih, ngaco kamu. Udahlah, aku mandi
dulu. Keburu telat nih mau kuliah.”
Bukannya pergi, tapi Tantri malah
menggodaku. Dia menyiramku dengan air disaat aku masih keramas. Lalu perlahan
dia mendekatkan badannya, dan mulai menciumku. Kusuka saat dia bermain nakal,
dia selalu berhasil membuatku terangsang dengan hal-hal kecil menggoda.
“Kamu mas, kalo ditanya gak mau
jawab, rasakan nih..” dengan cepatnya dia memegang kemaulanku dan mulai
mengocoknya. Karena sudah terkena shampoo, jadi terasa licin dan enak. “Ahh, jangan nakal. Aku buru-buru
sayang. Ahh..” desahanku yang begitu lirih agar tak terdengar oleh tetangga.
Tantri malah mulai membuka bajunya. Kulihat payudara itu seperti dua benda
bulat dan kenyal yang ingin ku lumat sampai ke pangkalnya. Rasa ini tak
tertahankan hingga aku menghentikan aktivitas mandiku. Ku peluk dia dan ku
lumat bibirnya. Rasanya masih sama seperti pertama kali ku lakukan hal yang
sama padanya. Ku pegang puting payudaranya, sedikit ku olesi sabun mandi agar
terasa licin. Kulihat warna pink menonjol pada ujung payudara itu. Ku
cubit-cubit manja, dan Tantri pun mulai mendesah kenikmatan. Beberapa saat kemudian
dia ku suruh terlentang dan kami pun bercinta.
“Pelan-pelan mas, terus..jangan
berhenti. Ahh..enak mas. Terus..”
Desahannya semakin membuat sifat
kejantananku keluar. Penisku yang sudah mengeras tegang, kumainkan didalam
lubang kenikmatan milik Tantri. Dia mengerang nikmat, kusumpal mulutnya dengan
handuk, agar desahannya tak terdengar oleh para tetangga rumah sebelah. Ku
peluk dia, mungkin karena saking enaknya, tak kusadari kuku-kuku tantri
mencengkaram punggungku hingga terluka. Ku teruskan cumbuan ini, sampai Tantri
dan aku mencapai puncak kenikmatan. “Mas
terus, dikit lagi keluar. Ahh.. Ahh..terus mas.”
“Aku juga mau keluar nih..
Uhh..dikit lagi.”
“Aahhhh..maasssss..
keluar nih. Ahh..” kurasakan badannya bergetar dipelukanku dibarengi dengan
semburan spermaku di dalam kemaluan Tantri. Begitu nikmatnya saat-saat itu di
kamar mandi. Waktu kuliah pun aku lupakan. Tantri terlentang lemas di bawahku,
lalu ku bersihkan sisa-sisa cairan kami dengan air. Akhirnya kami mandi
bersama, karena terlanjur gerah dan penuh keringat. Mengingat karena sudah
terlanjur terlambat kuliah, aku putuskan untuk tetap pergi ke kampus untuk
menyicil tugas UAS.
Sesampainya di kampus, aku bertemu
dengan Diona. Dia berkata kepadaku bahwa teman-temanku sering membicarakannya
dibelakangnya. Hal ini mebuat Diona merasa terganggu. Kubilang bersabarlah. “Jok,
kita ini hanya teman kan. Aku tahu kalau kamu sudah mempunyai istri. Tapi
sebenarnya disini aku sangat kesepian. Tak satupun teman yang kumiliki.”
“Kan aku temanmu, tenang aja. Lagian
kan kita gak melakukan hal-hal aneh.” Senyumku sedikit menghiburnya.
“Jok, mana istrimu? Aku belum pernah
mengobrol dengannya. Maukah kamu mengenalkanku dengannya? Kurasa akan
menyenangkan.”
“Hahaha..benar juga ya. Kita sudah
berteman agak lama namun aku belum pernah mengajak istriku menemuimu. Dia lagi
tidur di rumah. Gampang dah kapan-kapan, ok? Belajar yuk?”
Tanpa
kusadari teman-temanku membuntutiku. Mereka sangat berambisi untuk mencari tahu
siapa Diona itu sebenarnya. Mereka mungkin berpikir bahwa Diona adalah teman
astralku. Melihatku yang setiap hari berbicara sendiri di kampus, membuat para
temanku menganggap bahwa aku stress karena terlalu banyak tugas.
Suatu malam aku pergi ke kampus,
biasa lah. Jika sedang mengikuti suatu UKM, maka harus aktif hadir dalam rapat
mingguan atau membahas agenda yang akan diadakan selanjutnya. Di atas gedung
aku melihat seorang wanita berdiri sendiri menatap ke arah entah kemana.
Pikirku dia mungkin sedang bersama teman-temannya melakukan hal konyol untuk
merayakan hari jadi atau hari kelahiran apalah yang bersifat bodoh. Ketika
sedang melewati koridor, aku bertemu Diona. Nampak ada yang aneh pada
penampilannya malamini. Dia seperti basah kuyup dengan pipi dan tangan yang
lebam membiru. Kutanya tentang keadaannya, “Diona, ada apa denganmu? Kamu
terlihat aneh malam ini.”
“Aku kedinginan Joko. Habis mandi,
gerah tadi, gak tau kenapa jadi dingin gini. Aku gak bawa handuk, terpaksa ku
usap dengan pakaianku.”
“Tapi
pipi dan lenganmu? Kenapa jadi biru gitu?”Saking penasarannya, kusentuh lengan
Diona.
“Jangan! Gak apa-apa kok. Ini hanya
kosmetikku yang luntur terkena air tadi. Udah, aku mau pulang dulu. Sampai
jumpa.”
Lalu Diona beranjak pergi. Aku
mencium bau aneh di sepanjang koridor. Bau tetesan air bekas Diona mandi.
Baunya seperti bangkai hewan, sedikit amis dan membuat nafas sedikit sesak.
Tiba-tiba HPku bunyi, tanda ada panggilan masuk. Terdapat nomor baru disitu. “Halo,
selamat malam.” Anehnya tak ada yang menjawab, hanya suara gemerincing yang ada
di barengi dengan rintihan seorang wanita yang tak begitu jelas. Pikirku
mungkin ini orang lagi iseng. Yasudahlah
aku lanjutkan berjalan menuju tempat rapat.
Keesokan harinya, ketika libur akhir
pekan, aku memutuskan untuk membersihkan rumah. Sudah lama sepertinya rumah
mertuaku tidak dibersihkan. Ruang tamu yang memanjang kebelakang gandeng dengan
ruang TV terlihat usang dan banyak sarang laba-laba. Terpaksa aku membersihkan
rumah sendiri. Karena bapak dan ibu mertuaku belum pulang dari luar kota
sedangkan istriku Tantri entah kemana. Sambil menyapu dan mengelap lantai serta
jendela, aku terus berpikiran tentang Diona. Begitu indahnya dia bagiku. Namun para
temanku dan istriku begitu benci dirinya. Ahh,
apa yang aku pikirkan? Segitu mudahnya aku jatuh hati kepada seorang wanita
yang belum jelas statusnya menurut teman-temanku. Tak sengaja aku menemukan
buku diary milik istriku, yang tersimpan rapi diantara tumpukan koran di bawah
meja di sebuah gudang. Ku ingat dulu saat pertama kali aku membaca diary ini,
kisahnya begitu menarik untuk diresapi. Namun jika diingat-ingat lagi, hatiku
terasa sakit. Bagaimana tidak, istriku satu-satunya ternyata sudah pernah
dinodai oleh pria yang tidak tahu siapa dan seperti apa rupanya.
Kuhentikan aktivitasku untuk sesaat
demi membaca dan lebih mendalami tentang istriku. Lembar per lembar dan kata
per kata kuresapi. Baru aku tahu kalau istriku ternyata agak sedikit tomboy
dulu waktu di SMA. Senyumku menghapus letih badan ini. Sampai pada halaman
tengah, kuulangi untuk kedua kalinya membaca cerita yang tak akan pernah
terlupakan itu. Hatiku merasa sakit, bahkan untuk seseorang yang tidak begitu
ku cintai, aku merasa ada yang tercuri dari hidupku. Rasa ibaku membanjiri
seluruh halaman tersebut dengan air mata. Tak kusadari jika aku menangis
membaca bagian itu. Tak kusangka begitu pahitnya kenyataan yang dialami oleh
istriku. Mungkin mulai saat ini aku akan lebih memperhatikan dan lebih memahami
apa yang istriku mau. Sampai pada halaman terakhir kubaca, begitu sulit kosa kata
yang digunakan untuk kupahami.
01,
Juni 2013
Dear diary,
Hari ini, hari dimana aku sudah tak
sanggup lagi menahan malu. Caci demi caci kuterima bersamaan dengan sumpah
serapah dari orang-orang terdekatku. Sudah kujelaskan dari awal apa yang telah
terjadi, tapi mengapa mereka tak memahamiku sedikitpun. Desakan dari orang tua
untuk menggugurkan kandungan ini begitu kuat demi menutupi aib keluarga. Namun
apa kata, meski anak yang ku kandung ini berasal dari kebiadaban seorang
lelaki, namun aku sangat menyayangi anak ini. Tak tega aku jika sampai aku
kehilangan calon buah hatiku. Mungkin ini akan menjadi tulisan terakhirku
sebelum ku lakukan suatu hal yang sangat penting demi melidungi martabat orang
tuaku. Selamat tinggal dunia, atas nama benih kasih dan angan yang terbuang,
aku pulang.
Apa
maksud dari tulisan ini? Apa yang sedang dia bicarakan? Aku termenung
sesaat sambil berpikir inti dari masalah yang dia curahkan di lembar terakhir.
Tak mau berlama-lama melamun, kulanjutkan aktivitasku.
Keesokan harinya aku berniat menemui
teman-teman dekatku untuk meluruskan semua masalah. Mereka bilang kalau gadis
bernama Diona itu adalah sesosok arwah penasaran. Serontak angin berhembus
kencang membuat merinding semua bulu ditubuh. Tapi aku tetap tidak mempercayai
hal tersebut. Daripada masalah berlarut tak terpecahkan, kuputuskan untuk
menghindar dan mulai melupakan Diona. Kenyataannya, untuk menghindar dari
seseorang yang sudah terlanjur dekat sangatlah sulit untuk dilakukan.
Setelah berdiskusi tentang hal terbaik
yang akan ku ambil, Diona tiba-tiba muncul lalu menarik tanganku dari belakang
dan mengajakku bergegas menuju lantai atas. Perasaan penasaran, gelisah, serta
takut yang amat sangat bercampur dalam benakku. Benarkah dia ini hantu arwah penasaran seperti yang diceritakan oleh
teman-temanku? Aku ingin lari teriak sekencang mungkin, tapi tubuh ini
seakan terhipnotis. Tak bisa ku tolak ajakan Diona yang begitu terburu-buru.
Sesampainya diatas, dia bercerita
bahwa didalam tandon tempat menyimpan pasokan air harian kampus, terdapat mayat
gadis yang mati muda. Seketika mataku melotot dan jantungku seakan berdetak
ingin lepas dari rusuknya. Ternyata benar, Diona telah meninggal dan tidak ada
satupun yang menyadari keberadaan jasadnya. Aku sudah tak bisa berpikir lagi,
rasa takut ini serasa ingin membunuhku. Mengapa?
Mengapa harus aku yang mengalami nasib sial seperti ini? Aku ingin lari,
tapi tak bisa. Kaku semua badan dan pikiran sudah melayang tak karuan.
“Ternyata benar apa yang mereka
katakan. Kamu itu arwah penasaran yang mengganggu jiwaku kan?” teriakku sambil
menangis. Dan dia pun menatap tajam mataku. Itu membuatku semakin takut dan
menyebabkan air mataku keluar bersamaan dengan ingus. Tak kusadari celanaku
telah basah kuyup saking takutnya aku terhadap hantu tersebut. Setelah itu,
matanya berkaca-kaca, diam sejenak dan perlahan menghampiriku berusaha meraih
badanku. Tubuhku yang sudah terlanjur kaku, hanya bisa pasrah. Mungkinkah aku akan ikut mati bersamanya? Terdengar
setelah itu rintihan tangisnya yang sangat menakutkan. Lalu dia memelukku.Diona
mulai mengatakan sesuatu yang lirih. Dia berkata tentang sebuah kematian karena
penyesalan hidup. “Joko, aku sebenarnya bukanlah sosok seperti yang dikatan
teman-temanmu. Aku ini masih hidup, dan bukanlah hantu.”
“Bohong!” Hentakku. “Jika benar kau
bukan hantu, lalu jasad siapa yang ada di dalam tandon itu? Kau hanya
mempermainkanku. Mana mungkin di dalam tandon ada mayat seseorang sedangkan
kami semua tidak menyadarinya?” Begitu kesalnya aku karena merasa dibohongi
oleh lelucon yang sudah kelewat batas. Lalu aku berlari dan naik ke tangga
untuk membuka tandon demi mengungkap kebenaran. Setelah kubuka palka penutup
atas, aku terpeleset dan jatuh kedalam tempat penyimpanan air tersebut. Tubuhku
mendarat tepat di atas seonggok daging busuk dipenuhi belatung dengan aroma
yang sangat menyengat hingga memusingkan kepalaku. Terlihat sesosok jasad yang
sudah tak karuan wajah dan tubuhnya, kulitnya putih menguning dengan lunturan
warna biru legam dibagian wajah. Rambutnya berceceran diseluruh badanku.
Kondisinya mengenaskan sehingga tak bisa dikenali siapakah sebenarnya jasad
ini. Aku hampir pingsan kaget serta muntah-muntah tak ada hentinya. Belatungnya
berceceran memenuhi seisi tandon, tubuh yang membengkak terus-menerus
mengeluarkan suara aneh dari dalam perutnya, seperti guncangan air yang ingin
meledak keluar.
Diona lalu menarikku keluar. Sampai
diluar tandon, aku pingsan. Setelah beberapa saat, aku terbangun, dan astaga,
baunya seakan tak pernah hilang. Bau busuk yang masih menyengat dengan
sisa-sisa rambut di seluruh bajuku. Diona lalu menjelaskan, bahwa malam disaat
kami bertemu di koridor, dia baru saja menemukan jasad adiknya yang sudah lama
menghilang tanpa kabar. Dia tahu kalau ada jasad disitu karena sumber air kampus
yang selalu berbau busuk serta warnanya agak kekuningan. Identitas adiknya
ditemukan pada sebuah tas berisi dompet yang mengambang, itulah mengapa saat
kami bertemu di koridor, badannya basah kuyup dan berbau busuk. Ada kemungkinan
dia juga terpeleset saat berusaha mengambil tas yang ada didalamnya. Diona
adalah kakak kandung Tantri. Dia sengaja menyamar menjadi mahasiswi dan dekat
denganku hanya untuk mencari tahu informasi tentang kasus hilangnya Tantri yang
belum terpecahkan.
Walau sulit untuk diterima, itulah
kenyataannya. Dalam hati aku hanya bisa menangis serta meyesal, betapa gila dan bodohnya diriku setelah
hidup dan membangun rumah tangga bersama arwah penasaran Tantri. Mengetahui
jika Diona ternyata masih hidup, ada banyak hal yang perlu kutanyakan
kepadanya, namun seketika dia tidak ada disisiku. Apa yang terjadi? Dimana Diona? Disini, di lantai tiga tepat di
sebelah tandon, aku diam kebingungan. Mendung yang kelam membuat hujan turun
dengan lebatnya dibarengi angin dan sambaran petir yang terus menjerit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar