Batman Begins - Help Select

Senin, 23 November 2015

Bayang Semu




02, November 2012
          Dear diary,
          Tak satupun tindakanmu yang ku lupa pada malam itu. Pagi kau begitu baik, sampai aku tahu kalau minuman itu ternyata kau campuri obat tidur. Terngiang perputaran atap kamar, lama untuk kusadari bahwa tubuhku terlentang telanjang di atas ranjangmu. Kau menodaiku beberapa kali hingga ku rasakan sakit dibagian kewanitaan ini. Entah apa yang kau pikirkan, beraninya kau meniduri putri tunggal kesayangan dari sahabat arisan ibumu itu. Sesaat setelah kau puas dengan nafsu bejatmu dan kita berdua sudah mulai lemas tak berdaya, hanya air mata yang bisa aku ungkapkan untuk mengakui betapa kotor dan hinanya diriku pada saat itu. Trauma ini tak akan pernah hilang dari pikiranku. Tubuh indahku kini hanya seonggok daging yang pernah diludahi anjing hutan.

                Tak sengaja aku membuka diary yang sepertinya sengaja diletakkan di atas meja ruang tamu. Dengan membuka secara acak halaman demi halaman, ku tahu jika cerita pada lembar tengah ini seakan menarik untuk ku baca. Ketika Tantri sedang membuatkanku secangkir teh hangat, aku mempercepat bacaanku.
            Tahun 2013 lalu, aku menjadi mahasiswa baru di kota besar ternama. Postur tubuhku padat dan agak tinggi. Rambut pendek ikal dan hidung mancung, membuatku percaya diri ketika memulai hidup di kota orang. Mungkin karena sifatku yang ramah terhadap setiap orang yang kujumpai, aku selalu mendapat banyak teman baru, Tantri salah satunya. Mahasiswi cantik, putih, berpostur tinggi dengan rambut lurus panjang agak kemerahan serta menjadi idaman bagi para mahasiswa baru lainnya dan para senior.
            “Joko, silahkan diminum!” Serontak aku dikagetkan dengan keberadaan Tantri yang tiba-tiba sudah berada didepanku. Apa yang harus kukatakan dengan buku diarynya yang berada ditanganku. “Iya terima kasih tan. Ehh, maaf aku gak sengaja buka diarymu. Abisnya kamu sih, masak buku ginian ditaruh diruang tamu.”
            Hanya senyum malu yang ada dimuka Tantri. “Ohh, gak apa-apa, baca aja. Itung-itung daripada kamu bengong sendirian.” Ucap Tantri.
            “Kamu sendirian di rumah tan? Mana ayah sama ibumu?”
            “Mereka jarang berada di rumah, ada di luar kota.” Ujar Tantri.
            Beberapa saat setelah kuminum teh hangat buatan Tantri, ada yang aneh pada tubuhku. Seperti pusing dan mengantuk. Tak lama kemudian Tantri masuk kekamar, dan mengganti pakaiannya. Anehnya, kenapa pintu kamar Tantri tak ditutup. Jadi dari awal dia menanggalkan satu per satu pakaiannya, aku dapat melihat dengan jelas tubuh mulusnya itu. Mungkinkah dia sengaja melakukannya? Ahh pikirku, kenapa aku terangsang hanya dengan gambaran seperti itu. Akankah dia menambahkan obat perangsang pada minuman tadi? Tak lama kemudian dia menghampiriku. Dia hanya mengenakan pakaian tipis halus dan seperti transparan. Perlahan dia mulai menggodaku. Aku hanyut dalam rayuannya yang membingungkan ini. Ada apa dengan Tantri? Kenapa dia melakukan hal tersebut? Akankah aku hanya bermimpi?
            “Tantri, apa yang sedang kamu lakukan? Bukankah kita akan ke kampus hari ini? Kenapa kamu memakai pakaian seperti ini?”
            “Tenang aja Joko, kamu ngantuk kan? Dirumah gak ada siapa-siapa kok. Kita santai-santai dulu.”
            Kulihat bentuk dada menonjol dan padat tersebut. Pikiranku mulai tak karuan. Aku tak bisa menahan rasa ini, justru semakin kuat hasratku ingin bercumbu dengan Tantri. Tak usah berlama-lama diruang tamu, dia langsung ku gendong menuju kamar tidur. Tantri yang berwajah cantik mirip cina memang masih muda, namun dia sudah berpengalaman kurasa. Mulai kulumat bibir kecil tipisnya itu dan kurangkul pundaknya. Tantri pun membalas dengan menghembuskan nafas yang semakin membuatku terangsang. Tangannya mulai bergerak nakal menjelajah bagian kemaluanku. Terasa hangat sentuhan Tantri seakan membuat mataku tak bisa terbuka dan hanya nafas tersengal-sengal yang terdengar menghiasi ruangan cinta siang itu.
            “Ayo Jok, aku udah gak tahan nih. Agak cepetan dong!”
            “Pelan-pelan tan, sakit nih anuku kamu remas terus” kataku sambil mencopot pakaian milik Tantri. Dia lalu berbaring disebelahku sambil mengocok kemaluanku yang sudah mengeras tegang. Dia mengulum dengan lidah dan mulut manisnya. Terasa geli namun enak sekali. Jilatan Tantri semakin keras, terasa semakin nikmat dengan kupegang kedua buah dadanya yang besar dan kenyal itu.  “Ahh, terus tan.. enak banget. Ahh terus..”
            Tak kusadari tiba-tiba ibu Tantri sudah berdiri di depan kamar serta memergokiku. Pikiranku sudah tak karuan karena omelan ibu Tantri serta teriakannya yang semakin membuatku takut. Tantri memakai pakaiannya dan menghampiri ibunya. Betapa kagetnya diriku, ternyata mereka berdua sudah bersekongkol untuk menjebakku. Baru kusadari bahwa ternyata aku hanya dimanfaatkan oleh mereka. Mau tak mau, aku terpaksa akan dinikahkan dengan Tantri, walau berat hati tapi apa kata sudah. Memang aku masih menjabat sebagai mahasiswa baru tahun ini, namun aku sudah memiliki bisnis sendiri yang bisa dikatakan sudah bisa mencukupi kebutuhan finansial bagi sebuah kehidupan berkeluarga. Betapa bodohnya diri ini sampai tak menyadari bahwa aku hanya dimanfaatkan sebagai seorang suami karena tragedi pemerkosaan yang terjadi dalam diary tadi.
            Beberapa bulan aku hidup dirumah Tantri yang sudah menjadi istriku, rasanya aku ingin membeli rumah dan hidup sendiri, karena Tantri adalah sosok yang cerewet dan suka meminta untuk dibelikan hal-hal aneh yang menurutku kurang berguna. Tentunya hal tersebut sangat menguras dompetku. Selain itu, beban pikiran yang harus kutanggung sendirian membuat konsentrasi pada studiku terganggu. Tugas sering terlambat, penempuhan kredit mata kuliah menjadi tidak maksimal, nilai kurang memuaskan, dan pastinya hal ini berimbas pada lamanya studi yang aku tempuh. Sempat berpikir bahwa aku akan menceraikan Tantri, namun beberapa kali aku mengurungkan niatku karena perceraian bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Di lain sisi, Tantri sudah mulai mengandung. Semakin berat beban pikiran ini. Aku harus tetap menjaga perasaan dan pikiran Tantri agar dia tidak stress dan tidak ikut merasakan beban seperti yang aku tanggung ini.
            Pernah beberapa kali kami bertengkar hanya karena hal sepele. Mungkin ini bisa terjadi karena kami masih terlalu muda untuk urusan rumah tangga serta beban pikiran yang sudah terlalu menumpuk, lalu ada hal-hal kecil yang menganggu sehingga membuat hati menjadi mendadak emosi diiringi rasa marah yang berkelanjutan. Walaupun sering terjadi pertengkaran antara aku dan Tantri, namun aku tidak pernah sekali-kali bermain tangan alias menampar atau menyakitinya dalam bentuk fisik.
            Sampai pada suatu saat menjelang UAS, aku mendapat kenalan kakak senior. Dia begitu cantik, baik, ramah kepadaku, dan bisa aku ajak curhat melimpahkan semua masalah yang aku alami. Untungnya dia tidak pernah malu dan menghindar untuk berteman denganku. Hal ini memotivasi hari-hariku di kampus. Diona, itu adalah nama kakak senior yang kukenal cukup dekat akhir-akhir ini. Tingginya sama denganku, kulitnya putih dengan rambut bergelombang. Kami sering belajar bersama, kebetulan satu bidang konsentrasi. Tentunya dia sangat pintar dan berpengalaman dalam ilmu yang kita tempuh. Semakin lama aku bersama Diona, rasanya aku sudah mulai melupakan Tantri dan ingin sekali melepas belenggu kehidupanku. Anak muda mana sih yang mau terkekang oleh sebuah rumah tangga yang bisa dikatakan tidak harmonis seperti rumah tanggaku saat ini.
            Aku mulai memperlihatkan ketertarikanku terhadap Diona. Dia sebenarnya sudah tahu jika aku sudah berkeluarga, namun dia begitu memahamiku. “Jika bebanmu terlalu berat, aku siap membantumu kapan aja Joko.” Nada lembutnya memanjakan hari-hariku.
            Setiap Tantri mendengarkan ceritaku tentang Diona, dia selalu marah-marah gak jelas, padahal sudah aku jelaskan bahwa hubunganku dengan Diona hanya sebatas teman belajar saja. Hal ini membuat teman-teman dekatku merasa risih dengan apa yang setiap hari aku lakukan bersama Diona, mulai belajar, makan siang, dan ngobrol bersama. Mereka merasa risih karena statusku yang menjadi suami Tantri, tapi aku malah sering bercerita tentang Diona. Semua teman dekatku mulai menyelidiki siapa Diona sebenarnya dan mengapa dia begitu mudahnya membuatku terpikat olehnya.
            Tantri bersama teman dekatku mulai heran, karena tidak ada satupun dari kakak senior yang mengenal bahkan mengetahui jika ada nama Diona pada angkatan mereka. Penyelidikan ini mulai terungkap ketika Tantri dan para teman dekatku menanyakan tentang Diona kepada salah satu pengajar di kampus. Mereka kaget, karena Diona menurut salah satu pengajar tersebut, adalah mantan mahasiswi angakatan lama. “Sekitar 9 tahun yang lalu, ada mahasiswi yang kuliah disini. Dia bernama Diona, ciri-cirinya sama persis dengan apa yang kalian ceritakan. Tapi setelah beberapa semester, kami tidak mengetahui keberadaannya. Bahkan orang tuanya sempat lapor ke kepolisian, namun Diona masih tetap tidak bisa ditemukan. Saya sendiri merasa heran jika sekarang ada mahasiswi bernama Diona yang kuliah disini tanpa sepengetahuan kami. Mungkin kalian salah orang.” Tutur salah satu dosen.
            Setelah perbincangan berlanjut, Tantri langsung pulang kerumah. Aku yang sudah berada di kamar mandi dan terlanjur telanjang, tiba-tiba Tantri mengetok pintu dan memaksa untuk masuk. “Mas, buka mas. Aku mau masuk.”
            “Iya bentar, tunggu aku selesai mandi. Kamu mau mandi juga apa?” tanyaku.
            “Nggak, aku mau masuk aja. Cepet mas!” desak Tantri.
            Setelah kubukakan pintu dan dia masuk, aku diberi pertanyaan yang kurasa konyol untuk didengar.
            “Mas, temanmu Diona yang selalu bersamamu itu, apakah dia mahasiswi satu fakultas dengan kita?”
            “Sayang, aku lagi mandi. Kenapa tiba-tiba tanya gitu? Aneh kamu.” Kujawab dengan senyum.
            “Ayolah mas serius. Aku pengen tahu. Tadi dikampus aku menanyakan Diona pada dosen. Tapi beliaunya gak tahu kalau ada mahasiswi bernama Diona.”
            “iih, ngaco kamu. Udahlah, aku mandi dulu. Keburu telat nih mau kuliah.”
            Bukannya pergi, tapi Tantri malah menggodaku. Dia menyiramku dengan air disaat aku masih keramas. Lalu perlahan dia mendekatkan badannya, dan mulai menciumku. Kusuka saat dia bermain nakal, dia selalu berhasil membuatku terangsang dengan hal-hal kecil menggoda.
            “Kamu mas, kalo ditanya gak mau jawab, rasakan nih..” dengan cepatnya dia memegang kemaulanku dan mulai mengocoknya. Karena sudah terkena shampoo, jadi terasa licin dan enak. “Ahh, jangan nakal. Aku buru-buru sayang. Ahh..” desahanku yang begitu lirih agar tak terdengar oleh tetangga. Tantri malah mulai membuka bajunya. Kulihat payudara itu seperti dua benda bulat dan kenyal yang ingin ku lumat sampai ke pangkalnya. Rasa ini tak tertahankan hingga aku menghentikan aktivitas mandiku. Ku peluk dia dan ku lumat bibirnya. Rasanya masih sama seperti pertama kali ku lakukan hal yang sama padanya. Ku pegang puting payudaranya, sedikit ku olesi sabun mandi agar terasa licin. Kulihat warna pink menonjol pada ujung payudara itu. Ku cubit-cubit manja, dan Tantri pun mulai mendesah kenikmatan. Beberapa saat kemudian dia ku suruh terlentang dan kami pun bercinta.
            “Pelan-pelan mas, terus..jangan berhenti. Ahh..enak mas. Terus..”
            Desahannya semakin membuat sifat kejantananku keluar. Penisku yang sudah mengeras tegang, kumainkan didalam lubang kenikmatan milik Tantri. Dia mengerang nikmat, kusumpal mulutnya dengan handuk, agar desahannya tak terdengar oleh para tetangga rumah sebelah. Ku peluk dia, mungkin karena saking enaknya, tak kusadari kuku-kuku tantri mencengkaram punggungku hingga terluka. Ku teruskan cumbuan ini, sampai Tantri dan aku mencapai puncak kenikmatan. “Mas terus, dikit lagi keluar. Ahh.. Ahh..terus mas.”
            “Aku juga mau keluar nih.. Uhh..dikit lagi.”
            “Aahhhh..maasssss.. keluar nih. Ahh..” kurasakan badannya bergetar dipelukanku dibarengi dengan semburan spermaku di dalam kemaluan Tantri. Begitu nikmatnya saat-saat itu di kamar mandi. Waktu kuliah pun aku lupakan. Tantri terlentang lemas di bawahku, lalu ku bersihkan sisa-sisa cairan kami dengan air. Akhirnya kami mandi bersama, karena terlanjur gerah dan penuh keringat. Mengingat karena sudah terlanjur terlambat kuliah, aku putuskan untuk tetap pergi ke kampus untuk menyicil tugas UAS.
            Sesampainya di kampus, aku bertemu dengan Diona. Dia berkata kepadaku bahwa teman-temanku sering membicarakannya dibelakangnya. Hal ini mebuat Diona merasa terganggu. Kubilang bersabarlah. “Jok, kita ini hanya teman kan. Aku tahu kalau kamu sudah mempunyai istri. Tapi sebenarnya disini aku sangat kesepian. Tak satupun teman yang kumiliki.”
            “Kan aku temanmu, tenang aja. Lagian kan kita gak melakukan hal-hal aneh.” Senyumku sedikit menghiburnya.
            “Jok, mana istrimu? Aku belum pernah mengobrol dengannya. Maukah kamu mengenalkanku dengannya? Kurasa akan menyenangkan.”
            “Hahaha..benar juga ya. Kita sudah berteman agak lama namun aku belum pernah mengajak istriku menemuimu. Dia lagi tidur di rumah. Gampang dah kapan-kapan, ok? Belajar yuk?”
            Tanpa kusadari teman-temanku membuntutiku. Mereka sangat berambisi untuk mencari tahu siapa Diona itu sebenarnya. Mereka mungkin berpikir bahwa Diona adalah teman astralku. Melihatku yang setiap hari berbicara sendiri di kampus, membuat para temanku menganggap bahwa aku stress karena terlalu banyak tugas.
            Suatu malam aku pergi ke kampus, biasa lah. Jika sedang mengikuti suatu UKM, maka harus aktif hadir dalam rapat mingguan atau membahas agenda yang akan diadakan selanjutnya. Di atas gedung aku melihat seorang wanita berdiri sendiri menatap ke arah entah kemana. Pikirku dia mungkin sedang bersama teman-temannya melakukan hal konyol untuk merayakan hari jadi atau hari kelahiran apalah yang bersifat bodoh. Ketika sedang melewati koridor, aku bertemu Diona. Nampak ada yang aneh pada penampilannya malamini. Dia seperti basah kuyup dengan pipi dan tangan yang lebam membiru. Kutanya tentang keadaannya, “Diona, ada apa denganmu? Kamu terlihat aneh malam ini.”
            “Aku kedinginan Joko. Habis mandi, gerah tadi, gak tau kenapa jadi dingin gini. Aku gak bawa handuk, terpaksa ku usap dengan pakaianku.”
            “Tapi pipi dan lenganmu? Kenapa jadi biru gitu?”Saking penasarannya, kusentuh lengan Diona.
            “Jangan! Gak apa-apa kok. Ini hanya kosmetikku yang luntur terkena air tadi. Udah, aku mau pulang dulu. Sampai jumpa.”
            Lalu Diona beranjak pergi. Aku mencium bau aneh di sepanjang koridor. Bau tetesan air bekas Diona mandi. Baunya seperti bangkai hewan, sedikit amis dan membuat nafas sedikit sesak. Tiba-tiba HPku bunyi, tanda ada panggilan masuk. Terdapat nomor baru disitu. “Halo, selamat malam.” Anehnya tak ada yang menjawab, hanya suara gemerincing yang ada di barengi dengan rintihan seorang wanita yang tak begitu jelas. Pikirku mungkin ini orang lagi iseng. Yasudahlah  aku lanjutkan berjalan menuju tempat rapat.
            Keesokan harinya, ketika libur akhir pekan, aku memutuskan untuk membersihkan rumah. Sudah lama sepertinya rumah mertuaku tidak dibersihkan. Ruang tamu yang memanjang kebelakang gandeng dengan ruang TV terlihat usang dan banyak sarang laba-laba. Terpaksa aku membersihkan rumah sendiri. Karena bapak dan ibu mertuaku belum pulang dari luar kota sedangkan istriku Tantri entah kemana. Sambil menyapu dan mengelap lantai serta jendela, aku terus berpikiran tentang Diona. Begitu indahnya dia bagiku. Namun para temanku dan istriku begitu benci dirinya. Ahh, apa yang aku pikirkan? Segitu mudahnya aku jatuh hati kepada seorang wanita yang belum jelas statusnya menurut teman-temanku. Tak sengaja aku menemukan buku diary milik istriku, yang tersimpan rapi diantara tumpukan koran di bawah meja di sebuah gudang. Ku ingat dulu saat pertama kali aku membaca diary ini, kisahnya begitu menarik untuk diresapi. Namun jika diingat-ingat lagi, hatiku terasa sakit. Bagaimana tidak, istriku satu-satunya ternyata sudah pernah dinodai oleh pria yang tidak tahu siapa dan seperti apa rupanya.
            Kuhentikan aktivitasku untuk sesaat demi membaca dan lebih mendalami tentang istriku. Lembar per lembar dan kata per kata kuresapi. Baru aku tahu kalau istriku ternyata agak sedikit tomboy dulu waktu di SMA. Senyumku menghapus letih badan ini. Sampai pada halaman tengah, kuulangi untuk kedua kalinya membaca cerita yang tak akan pernah terlupakan itu. Hatiku merasa sakit, bahkan untuk seseorang yang tidak begitu ku cintai, aku merasa ada yang tercuri dari hidupku. Rasa ibaku membanjiri seluruh halaman tersebut dengan air mata. Tak kusadari jika aku menangis membaca bagian itu. Tak kusangka begitu pahitnya kenyataan yang dialami oleh istriku. Mungkin mulai saat ini aku akan lebih memperhatikan dan lebih memahami apa yang istriku mau. Sampai pada halaman terakhir kubaca, begitu sulit kosa kata yang digunakan untuk kupahami.

01, Juni 2013
          Dear diary,
          Hari ini, hari dimana aku sudah tak sanggup lagi menahan malu. Caci demi caci kuterima bersamaan dengan sumpah serapah dari orang-orang terdekatku. Sudah kujelaskan dari awal apa yang telah terjadi, tapi mengapa mereka tak memahamiku sedikitpun. Desakan dari orang tua untuk menggugurkan kandungan ini begitu kuat demi menutupi aib keluarga. Namun apa kata, meski anak yang ku kandung ini berasal dari kebiadaban seorang lelaki, namun aku sangat menyayangi anak ini. Tak tega aku jika sampai aku kehilangan calon buah hatiku. Mungkin ini akan menjadi tulisan terakhirku sebelum ku lakukan suatu hal yang sangat penting demi melidungi martabat orang tuaku. Selamat tinggal dunia, atas nama benih kasih dan angan yang terbuang, aku pulang.

            Apa maksud dari tulisan ini? Apa yang sedang dia bicarakan? Aku termenung sesaat sambil berpikir inti dari masalah yang dia curahkan di lembar terakhir. Tak mau berlama-lama melamun, kulanjutkan aktivitasku.
            Keesokan harinya aku berniat menemui teman-teman dekatku untuk meluruskan semua masalah. Mereka bilang kalau gadis bernama Diona itu adalah sesosok arwah penasaran. Serontak angin berhembus kencang membuat merinding semua bulu ditubuh. Tapi aku tetap tidak mempercayai hal tersebut. Daripada masalah berlarut tak terpecahkan, kuputuskan untuk menghindar dan mulai melupakan Diona. Kenyataannya, untuk menghindar dari seseorang yang sudah terlanjur dekat sangatlah sulit untuk dilakukan.
            Setelah berdiskusi tentang hal terbaik yang akan ku ambil, Diona tiba-tiba muncul lalu menarik tanganku dari belakang dan mengajakku bergegas menuju lantai atas. Perasaan penasaran, gelisah, serta takut yang amat sangat bercampur dalam benakku. Benarkah dia ini hantu arwah penasaran seperti yang diceritakan oleh teman-temanku? Aku ingin lari teriak sekencang mungkin, tapi tubuh ini seakan terhipnotis. Tak bisa ku tolak ajakan Diona yang begitu terburu-buru.
            Sesampainya diatas, dia bercerita bahwa didalam tandon tempat menyimpan pasokan air harian kampus, terdapat mayat gadis yang mati muda. Seketika mataku melotot dan jantungku seakan berdetak ingin lepas dari rusuknya. Ternyata benar, Diona telah meninggal dan tidak ada satupun yang menyadari keberadaan jasadnya. Aku sudah tak bisa berpikir lagi, rasa takut ini serasa ingin membunuhku. Mengapa? Mengapa harus aku yang mengalami nasib sial seperti ini? Aku ingin lari, tapi tak bisa. Kaku semua badan dan pikiran sudah melayang tak karuan.
            “Ternyata benar apa yang mereka katakan. Kamu itu arwah penasaran yang mengganggu jiwaku kan?” teriakku sambil menangis. Dan dia pun menatap tajam mataku. Itu membuatku semakin takut dan menyebabkan air mataku keluar bersamaan dengan ingus. Tak kusadari celanaku telah basah kuyup saking takutnya aku terhadap hantu tersebut. Setelah itu, matanya berkaca-kaca, diam sejenak dan perlahan menghampiriku berusaha meraih badanku. Tubuhku yang sudah terlanjur kaku, hanya bisa pasrah. Mungkinkah aku akan ikut mati bersamanya? Terdengar setelah itu rintihan tangisnya yang sangat menakutkan. Lalu dia memelukku.Diona mulai mengatakan sesuatu yang lirih. Dia berkata tentang sebuah kematian karena penyesalan hidup. “Joko, aku sebenarnya bukanlah sosok seperti yang dikatan teman-temanmu. Aku ini masih hidup, dan bukanlah hantu.”
            “Bohong!” Hentakku. “Jika benar kau bukan hantu, lalu jasad siapa yang ada di dalam tandon itu? Kau hanya mempermainkanku. Mana mungkin di dalam tandon ada mayat seseorang sedangkan kami semua tidak menyadarinya?” Begitu kesalnya aku karena merasa dibohongi oleh lelucon yang sudah kelewat batas. Lalu aku berlari dan naik ke tangga untuk membuka tandon demi mengungkap kebenaran. Setelah kubuka palka penutup atas, aku terpeleset dan jatuh kedalam tempat penyimpanan air tersebut. Tubuhku mendarat tepat di atas seonggok daging busuk dipenuhi belatung dengan aroma yang sangat menyengat hingga memusingkan kepalaku. Terlihat sesosok jasad yang sudah tak karuan wajah dan tubuhnya, kulitnya putih menguning dengan lunturan warna biru legam dibagian wajah. Rambutnya berceceran diseluruh badanku. Kondisinya mengenaskan sehingga tak bisa dikenali siapakah sebenarnya jasad ini. Aku hampir pingsan kaget serta muntah-muntah tak ada hentinya. Belatungnya berceceran memenuhi seisi tandon, tubuh yang membengkak terus-menerus mengeluarkan suara aneh dari dalam perutnya, seperti guncangan air yang ingin meledak keluar.
Diona lalu menarikku keluar. Sampai diluar tandon, aku pingsan. Setelah beberapa saat, aku terbangun, dan astaga, baunya seakan tak pernah hilang. Bau busuk yang masih menyengat dengan sisa-sisa rambut di seluruh bajuku. Diona lalu menjelaskan, bahwa malam disaat kami bertemu di koridor, dia baru saja menemukan jasad adiknya yang sudah lama menghilang tanpa kabar. Dia tahu kalau ada jasad disitu karena sumber air kampus yang selalu berbau busuk serta warnanya agak kekuningan. Identitas adiknya ditemukan pada sebuah tas berisi dompet yang mengambang, itulah mengapa saat kami bertemu di koridor, badannya basah kuyup dan berbau busuk. Ada kemungkinan dia juga terpeleset saat berusaha mengambil tas yang ada didalamnya. Diona adalah kakak kandung Tantri. Dia sengaja menyamar menjadi mahasiswi dan dekat denganku hanya untuk mencari tahu informasi tentang kasus hilangnya Tantri yang belum terpecahkan.
            Walau sulit untuk diterima, itulah kenyataannya. Dalam hati aku hanya bisa menangis serta meyesal, betapa gila dan bodohnya diriku setelah hidup dan membangun rumah tangga bersama arwah penasaran Tantri. Mengetahui jika Diona ternyata masih hidup, ada banyak hal yang perlu kutanyakan kepadanya, namun seketika dia tidak ada disisiku. Apa yang terjadi? Dimana Diona? Disini, di lantai tiga tepat di sebelah tandon, aku diam kebingungan. Mendung yang kelam membuat hujan turun dengan lebatnya dibarengi angin dan sambaran petir yang terus menjerit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar